Kumpulan Feature Guru Khatulistiwa

1# EMPAT ANAK (YANG KATANYA) PENGACAU

oleh; Aulia Fauziah / Sui. Kakap – Kuburaya – Kalimantan Barat

photogrid_1386765267696 “Dédédédédédéééééttt…” suara motor air bergeming di telingaku, Gemercik air dari aliran sungai yang sedang dilewati pun tertelan oleh suara motor air. Bunyinya membuatku pengang. Suara riuh rendah angin yang membuat pohon kelapa bergoyang pun tak dapat terdengar.  Hanya cipratan air dan angin yang terasa menerpa wajah. Membuatku tak dapat menikmati keindahan alam Kalimantan.

Adalah sampan yang dipasangi pesawat sederhana sehingga bisa menjalankan sampan tanpa dayung. Untuk masyarakat Kalimantan Barat rasanya tak asing lagi melihat benda ini, apalagi yang hidup di sepanjang aliran Kapuas dan sungai kecil di sekitarnya.

Hanya 45 menit, waktu perjalanan naik motor air dari Pasar Kakap sampai Kampung Tengah. Tapi tak henti-hentinya aku melambaikan tangan, seperti Jokowi yang sedang berkeliling Jakarta. Ya, lambaian tangan itu kutujukan pada murid-muridku. Murid-murid yang membuatku bersemangat untuk pergi ke sekolah. Murid-murid yang membuatku harus memutar otak mengenai model pembelajaran apa yang akan kuterapkan minggu depan. Murid-murid yang bisa membuatku tertawa geli atau bahkan murka berkepanjangan di kelas. Mereka adalah murid-muridku. Tapi diantara semua murid yang kusayangi, ada empat murid yang akan selalu mengikutiku bahkan mungkin ketika aku terjun ke jurang. Dilla, Udin, Hairil, dan Fauzi. Mereka adalah empat anak pengacau di kelas 6. Tidak hanya anak-anak lain yang bilang begitu, guru-guru dan orang tua pun berkata demikian. Bahkan mereka menyebut diri mereka preman di Kampung Tengah.

Dilla, bernama lengkap Abdillah, yang selalu mengklaim dirinya sebagai ketua. Tetapi saat adu kekuatan di atas gertak, dia selalu tercebur ke sungai. Dilla memang jagonya kalau soal ejek mengejek. Tak ada yang bisa menandinginya kalau sudah adu omong. Tetapi kalau ditanya tentang cita-cita, mulutnya terkunci rapat. Ia diam seribu bahasa. Lain halnya dengan Udin, Saparudin nama lengkapnya, sangat mudah untuk dipengaruhi. Ada saatnya Udin menjadi sangat nakal dan tak bisa terkendali. Aku bahkan pernah menarik kerah bajunya saking kesalnya. Perlakuan yang mungkin tak pantas dilakukan oleh seorang guru. Ada lagi Hairil. Hairil ini adalah kakak dari Udin. Dia sudah berumur 14 tahun. Sangat sulit mengatur Hairil, karena Ia selalu melakukan sesuai kehendaknya. Ia tak pernah mau mendengarkan apa yang Aku katakan. Nah, yang terakhir adalah Fauzi. Sulit mendeskripsikan Fauzi. Tapi satu hal  yang Aku tahu pasti tentang Fauzi, bahwa Ia tidak memiliki potensi di bidang akademis.

Keempat anak ini, selalu Aku marahi. Tak pernah ada hari dimana Aku tidak marah. “Macam anjing kau zi,” sempat kudengar ejekan Dilla pada Fauzi. Omelan demi omelan selalu keluar dari mulutku karena kelakuan mereka, tapi bukannya mereka menjauh, mereka malah semakin melekat denganku. Pernah suatu ketika Aku mengajar di kelas 6, keadaan sangat riuh dan tak bisa terkendali. Keempat ini menjadi dalang dari keributan tersebut. Sempat Aku marah dan pergi meninggalkan kelas karena keempat anak ini mencabut reward kawan-kawannya yang ada di papan prestasi sebagai bentuk protes mereka karena Aku mencabut reward mereka karena mereka tidak mematuhi aturan kelas. Rasanya sudah tak ada rasa hormat lagi dalam diri mereka kepadaku.

Namun, pada sore harinya, ketika Aku sedang berada di ruang kreativitas di sekolah, ada dua anak yang sedang menungguku. Mereka adalah Dilla dan Fauzi. Tak kusapa mereka, kubiarkan mereka di luar. Sampai waktu telah menunjukkan pukul 17.30 WIB, mereka tak kunjung pulang. Ketika akhirnya Aku keluar. Kutanya pada mereka, “Sedang apa disini?”

“Tak da,” Jawab mereka.

“Ibu nak balik,” kataku sambil berjalan pergi.

“Nanti, kami pasti berubah Bu,” kata Fauzi memulai pembicaraan.

Dari perkataan itu hatiku goyah, bahkan sebelum Fauzi mengatakan perkataan itu, hatiku telah goyah. Anak-anak ini sebenarnya bukanlah anak yang nakal. Banyak kejadian-kejadian yang kupikir, takkan dilakukan oleh anak-anak kebanyakan, tetapi dilakukan oleh anak-anak ini.

Contoh pada Udin. Udin ini membantu Ibunya untuk menjual kue keliling dari pukul 5 subuh. Dan pernah suatu ketika Udin malah membelikanku kue dari uang jajan yang Ia dapatkan dari upah menjual kue yang diberi Ibunya. Lain halnya dengan Hairil. Suatu ketika, Aku pernah terjatuh di jembatan karena jembatan tersebut licin. Banyak anak yang menertawakanku.  Tetapi Hairil menghampiriku dan berkata, “Jalanan disini memang licin Bu, kami ja sua jatuh disini,” begitu katanya. Untuk anak-anak yang dibilang nakal, rasanya agak aneh jika mereka bisa sampai melakukan hal-hal seperti itu.

Entah dimana akar penyebab buruknya tingkah laku mereka. Tetapi pernah Aku melihat mereka  mengolok orang-orang yang lebih tua dari mereka. Ketika kuperingatkan bahwa hal tersebut tidak sopan. Jawaban mereka adalah, “Kami biase kaya gitu Bu, kenapa Ibu ni marah-marah terus.” Jawaban yang membuatku tersadar, bahwa mungkin mereka tidak sadar bahwa hal-hal yang mereka lakukan adalah suatu kesalahan. Mereka tidak tahu bahwa hal-hal tersebut tidak sepatutnya mereka dilakukan. Lingkungan tidk mengajarkan pernah akan tingkah laku yang baik. Lingkungan menjadi faktor terpenting dalam perkembangan seorang anak. Tingkah laku mereka merupakan PR terbesar jika ingin menyelamatkan Indonesia. Masih ada waktu dan masih ada kesempatan.

***

2# DADAN TAK BISA BACA

oleh: Ahmad Lizamuddin / Sungai Raya – Kuburaya – Kalimantan Barat

DSC00068“Dan, bacakan soal nomor 2!” Itulah perintah yang spontan saya lontarkan ketika memasuki kelas pertama kalinya di SD Vilial 63 Sungai Raya, sekolah tempat pengabdian saya saat ini. Di sebuah lahan baru yang dibuka untuk para transmigran. Setelah saya suruh saya tunggu suaranya tak kunjung keluar dari mulutnya. Saya serukan sekali lagi dengan intonasi agak tinggi “dan, bacakan!”. Masig tak ada suaranya yang keluar. “dia tak bias baca pak”, cetus salah seorang siswa. Mendengar jawaban ini saya kaget. Siswa yang sudah duduk dikelas 5 ada yang masih belum bisa membaca.

Saya hanya bisa memengelus dada. Bagaimana itu bisa terjadi? Entahlah. Saya hanya berharap semoga tidak dilimpahi tugas mengajar kelas 5. Sederhana saja alasannya, saya tidak mau mengalami kepayahan lebih berat. Yang saya dambakan adalah bahwa saya bisa membuat pembelajaran secara aktif, dengan berpusat pada kreasi siswa. Jadi, bagaimana mungkin saya bisa meraih itu semua jika salah seorang siswa saya masih mengalami kepayahan dalam baca tulis? Saya takut menghadapi anak ini. Tidak terbayang bagaimana sulitnya nanti jika saya harus mengajarinya mengenal abjad. Tapi entah mengapa saya tidak berhenti memikirkan anak ini!

Apa yang selanjutnya terjadi? Self-fulfilling prophecy terbukti benar! Apa yang saya takutkan selama ini benar-benar terjadi. Saya dipercaya menjadi wali kelas 6 di SDN Vilial 63 Sungai Raya. Saya merasakan Bagai mendapat durian runtuh tapi si durian jatuh mengenai kaki! Senang sekaligus sedih datang dalam waktu bersamaan. Senang karena saya mendapatkan tanggung jawab yang jelas disini. Serta saya dapat berinteraksi secara langsung dengan siswa-siswi yang akan bimibing secara langsung.. Tetapi juga sedih karena saya mengajar kelas 6 yang ruangannya berbagi dengan kelas 5 yang secara si guru dari kelas ini selalu tidak masuk. Sehingga saya harus segera memutar otak untuk menghadapi 1 anak spesial di kelas 5 ini. Dalam pikiran saya masih terngiang, bagaimana mungkin sudah kelas 5 masih belum bisa baca?

Minggu pertama mengajar, saya gunakan untuk mengenali setiap anak, termasuk 1 anak spesial yang belum bisa baca. Buntut perkenalan saya dengan mereka malah membuahkan kekagetan. Ternyata tidak hanya 1 anak tetapi ada anak spesial lainnya. Mereka adalah seorang siswi dari kelas 2, lalu sorang siswa dari kelas 3, serta sorang siswa dari kelas 4 yang merupakan adek kandung dadan.  Mereka berempat belum bisa membaca semua. Perjuangan dengan mereka pun dimulai! Saya bertekad untuk mengajari mereka baca selama saya disini.

Pertemuan dengan mereka ini sungguh menguras emosi, tenaga, dan pikiran. Mulai saya kepayahan mengumumpulkan mereka, mencari-cari dadan dkk, serta Saya harus berkali-kali mengenalkan abjad bahkan mengulangnya terus dan mencari metode kreatif supaya mereka tertarik belajar baca. Ada-ada saja tingkah mereka yang menguji kesabaran saya, ada yang bersembunyi supaya tidak ikut belajar baca atau bahkan keempatnya kompak lari pulang ke rumah setelah selesai belajar dikelas. Tidak jarang saya keliling sekolah mencari mereka dan meminta teman-temannya untuk membantu saya mencari dimana batang hidung mereka berempat ini. Lelah? Sudah pasti. Marah? Itu bahkan berkali-kali. Tapi, percuma saja marah karena saya yang akan berkali-kali lipat merasakan kelelahan.

Tampaknya terlalu hiperbola, tapi saya mati-matian menunjukkan kesabaran saya ketika mengajari mereka baca. Apa yang saya rasakan mungkin seperti celetukan orang di sini yang akan berkata, “Rasanya kepala mau picah!” jika menghadapi situasi yang bisa membuat kepala pusing seketika.

Suatu pagi sebelum masuk sekolah, saya berjalan-jalan keliling sekolah yang tidak luas ini. Saya melihat dadan dan adiknya berjalan menuju kekelas mereka masing-masing. Seketika itu saya panggil mereka berdua, “dan, gung, kemari sebentar!”. Dengan segera mereka menghampiri saya. “bapak mau tanya sama kalian, kenapa kalian tidak mau belajar baca? Jawab yang jujur!!”

“maaf pak, saya dan adek harus segera balik rumah setelah sekolah.” jawab dadan dengan nada rendah

“la kenapa kok gitu?” imbuh saya dengan logat khas

“anu,pak kami musti antar-antar kayu.” Jawab agung

“jadi kalian kerja ngangkat-ngangkat kayu untuk diantar ke yang beli?” ujar saya kembali dengan menekankan

“iya, pak”. Jawab dadan

Mendengar jawaban mereka, segera saya mencari tahu dengan menanyakan akan kebenaran dari para guru lainnya mengenai hal ini. Sayapun  sangat terpukul, ternyata apa yang mereka katakana benar. Saya mengira bahwa mereka tidak mau belajar baca karena lebih memilih bermain-main.

Saya teringat akan perkataan seseorang mengenai motif seorang yang melakukan transmigrasi. Dari dulukebanyakan orang melakukan trans karena dua perkara, yakni “wirang atau kirang”. Wirang adalah sebuah kosakata dari bahasa jawa yang artinya bermasalah. Maksudanya banyak transmigran yang didaerah asal mereka bermasalah mulai dari masalah dengan polisi, hingga debt collector. Kirang merupakan bahasa jawa yang berarti kurang. Kurang dalam hal ini, orang yang kekurangan dalam hal materi, jadi dengan transmigrasi mereka berusaha memperbaiki nasib.

Saya percaya bahwa dengan bersabar dan istiqomah mendampingi anak-anak special ini. Saya menanamkan pada mereka sebuah kata kunci setiap belajar untuk meneriakkan “AKU BISA BACA”. Saya berharap mereka tersugesti untuk benar-benar bisa baca.

***

3# SANG JUARA

oleh; Sri Wahyuni / Kuala Mandor B – Kuburaya – Kalimantan Barat

dsc03864Namanya Darwis. Anak lelaki yang berkulit kuning langsat ini adalah seorang atletik. Dia ahli dalam bermain voli dan tenis lapangan. Terakhir, dia bersama tim mendapatkan juara 1 lomba bola voli putra sekecamatan Kuala Mandor B dalam pertandingan O2SN yang diadakan pada tanggal 10 dan 11 Februari di SDN 12 Cangkok Manis.

Jika kita melihat sekilas pada sesosok anak ini, terlihat dia begitu cerdas “menangani” si bola voli. Tapi siapa kira, siswa kelas V SD ini belum bisa membaca. Dia adalah satu-satunya siswa kelas lima yang belum bisa membaca.

Apa yang salah dengan anak ini? Apa yang terjadi dengan anak ini hingga sudah kelas V pun dia masih belum bisa membaca? Pasti kita bertanya-tanya, apakah anak ini tidak suka belajar hingga tidak memperhatikan sang guru ketika mengajarkannya membaca? Mungkin kita juga menerka, apakah IQ Darwis ini berada dibawah rata-rata? Dan yang menjadi pertanyaan besar, kenapa anak ini bisa naik hingga ke kelas lima meskipun tidak bisa membaca?

Sang wali kelas Darwis semasa kelas tiga dulu bercerita. Dulu wali kelas ini mengajar ekstra membantu-anak-anak kelas tiga agar bisa membaca, termasuk Darwin ini. Satu semester di kelas tiga, Darwis akhirnya bisa mengeja. Namun sayangnya, ditengah asik belajar membaca, Darwis disibukkan dengan aktivitas olahraga. Karena keahlian yang dia miliki dalam tenis lapangan, ketika kelas tiga itu dia telah mendapatkan juara satu tenis lapangan di tingkat kabupaten pada Kejuaraan daerah, hingga saat itu dia mewakili kabupaten di tingkat provinsi dalam bidang olahraga tenis lapangan. Dan saat itu, akhirnya anak yang berambut agak ikal ini mendapatkan juara tiga di tingkat provinsi. Jadi dengan alasan prestasi dibidang olahraga yang dia miliki akhirnya dia dinaikkan ke kelas empat.

Setelah di kelas empat dan masih tidak bisa membaca, lalu kenapa masih bisa naik kekelas lima? Ternyata semasa di kelas empat, anak ini memiliki wali kelas yang sudah tua dan sering sakit-sakitan. Matanya sering bermasalah. Ditambah lagi dengan  jarak rumah yang lebih kurang satu jam dari sekolah membuatnya jarang datang ke sekolah sehingga kelas ini terabaikan. Semua siswa terbengkalai, termasuk Darwis. Kemungkinan karena rasa bersalah sang wali kelas, akhirnya anak ini tetap dinaikkan ke kelas lima.

Nah sekarang saat telah dikelas lima, dia masih belum bisa membaca. Dari perbincangan guru yang saya dengar, jika Darwis masih tidak bisa membaca disaat pergantian kelas nanti, kemungkinan Darwis akan tetap berada dikelas lima. Tidak naik ke kelas enam.

Banyak orang mengatakannya bodoh karena dia masih belum bisa membaca. Banyak orang mengatakan dia bodoh ketika dia tidak bisa menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru dengan baik. Banyak orang mengatakan dia bodoh karena dia tidak mampu menyelesaikan soal-soal ulangan dengan nilai yang memuaskan.

Semua orang itu salah. Tidak ada satupun makhluk yang diciptakan tuhan untuk bodoh. Memang  kebanyakan sekolah anak hanya dianggap cerdas jika sang anak dapat menyelesaikan soal matematika dengan cepat. Rata-rata disetiap sekolah anak baru dianggap cerdas jika mendapatkan nilai ulangan dengan nilai yang baik. Padahal sesungguhnya setiap anak itu memiliki kecerdasan masing-masing, seperti yang diungkap oleh Dr. Howard Gardner, penemu teori multiple intelligent.

Jadi, dengan tidak bisanya Darwis membaca, itu bukan menandakan Darwis bodoh. Menjadi juara dalam perlombaan olahraga membuktikan bahwa Darwis memiliki kecerdasan kinestetik yang lebih menonjol. Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jika Darwis kurang bisa menakhlukkan huruf-huruf, tetapi dilapangan tenis, bocah ini sanggup menaklukkan bola dan dapat melumpuhkan musuh.

***

4# SITI FATIMAH, ANUGRAH TERINDAH DARI ALLAH

oleh; Velin Lamuningtyas / Teluk Pakedai – Kuburaya – Kalimantan Barat

b082e7673098fd111750e8c0c563f29aWalau hidup serba kekurangan dan terlahir sebagai anak yatim, Siti Fatimah tidak pernah sedikitpun terlihat minder dan berkecil hati. Beruntung ibunya masih peduli akan pendidikan. Tak seperti banyak anak dari keluarga miskin lain yang lebih memilih menyuruh anaknya bekerja dan akhirnya putus sekolah. Justru ibunyalah yang selama ini menjadi penyemangat untuk mencapai cita-cita.

Imah, nama panggilan bagi Siti Fatimah. Prestasi belajar Imah disekolah memang menonjol. Tak heran jika dia sering mendapatkan juara dikelasnya. Karena prestasinya tersebut,  Imah juga seringkali mendapatkan beasiswa dan keringanan biaya untuk sekolah. Bermodal prestasi dan kecerdasannya itulah Imah mampu menjadi seperti sekarang ini. Walaupun berasal dari keluarga tidak mampu dia berhasil untuk terus melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

Setelah lulus dari SMP, kala itu Imah mendapatkan beasiswa untuk masuk SMA Nusa Bangsa di Pontianak, perlu diketahui Sekolah Menengah Atas ini waktu itu menjadi salah satu sekolah terbaik di Pontianak. Sekolah bergengsi dengan segudang prestasi dan mampu mencetak lulusan terbaik. Imah pun disana lagi-lagi menjadi siswa yang cukup menonjol prestasinya diantara teman-teman yang lain. Walau terkadang Imah mengalami kesulitan belajar karena tak mampu membeli buku pelajaran yang lengkap seperti kawan-kawannya.

Atas berbagai raihan prestasi tersebut membuat mereka seringkali mendapatkan beasiswa belajar. Sehingga selama menempuh pendidikan, orang tuanya yang bekerja jadi buruh tani juga tak merasa banyak terbebani. Terlebih ketika lulus SMA bayangan akan harapan dan cita-cita mereka untuk mengenyam pendidikan tinggi hampir pupus, karena mahalnya biaya kuliah sementara jika dipikir penghasilan ayah dari menarik becak hanyalah cukup untuk makan keluarga sehari-hari. Namun hal itu tak menyurutkan niat imah untuk menjadi seorang dokter.

Untuk memasuki fakultas kedokteran Untan (Universitas Tanjungpura) bukanlah hal yang mudah. Selain harus mempunyai kemampuan otak yang mencukupi, kemampuan dalam pembiayaan pun harus dimiliki. Hal tersebut tak bisa dipungkiri karena biaya kuliah di Fakultas Kedokteran tergolong mahal dibandingkan dengan fakultas-fakultas yang lain. selain itu, untuk praktek dan magang pun membutuhkan uang yang tidak sedikit.

Jika sudah menjadi Kehendak Sang Khalik, apa pun dapat terjadi. Berkat segala do’a dan keseriusan Imah dalam menggapai impian, Imah terpilih sebagai satu-satunya siswa kedokteran yang mendapatkan beasiswa. Padahal, sebelumnya tak pernah ada yang memberikan beasiswa kepada mahasiswa kedokteran. Betapa gembira hati Imah saat itu. Bermodalkan niat dan dorongan dari Ibunya, Imah pun melakoni pendidikan di Fakultas Kedokteran hingga akhirnya ia berhasil menjadi seorang dokter di Rumah Sakit Sudarso, salah satu rumah sakit milik pemerintah di kota Pontianak.

Atikah, panggilan akrab bagi ibu Imah, adalah seorang buruh tani di sebuah desa yang terletak di kecamatan Teluk Pakedai, kabupaten Kuburaya Kalimantan Barat. Umurnya yang sudah setengah abad tak mengahalangi niat baik anaknya untuk menuntut ilmu. Dia tak pernah bosan menjalankan rutinitas yang sudah lama ia lakoni sejak kecil. Mulai berangkat ke kebun sawit sebelum matahari terbit kemudian pulang untuk sholat dhuhur dan kembali lagi ke perkebunan sawit sampai sebelum matahari tenggelam.

“Begitulah rutinitas saya setiap hari, kami tak menyebutnya ke kebun melainkan ke kantor. Bukan hanya orang kota saja yang ke kantor. Buruh tani seperti saya juga ke kantor, yakni kebun,” ucapnya dengan sedikit tawa.

Ibu beranak lima ini tak ingin nasib anaknya berakhir seperti dirinya yang harus putus sekolah sejak Sekolah Dasar lantaran keterbatasan dana. Ia memang lahir dari keluarga miskin pasangan petani Siren (alm) dan Warti (alm). Semua pekerjaan ia lakoni untuk menutupi biaya hidupnya. Mulai menjadi buruh tani, tukang panggul gabah hingga menjadi pedagang lelong di desanya. (lelong adalah baju bekas)

Seperti layaknya masyarakat di desa ini, selain menjadi buruh tani di perkebunan sawit, Atikah juga mempunyai sepetak sawah berukuran seperempat hektar yang ia tanami padi. Baginya, tak gampang menjadi seorang petani. Ia harus mampu memutar otak agar hasil panen bisa mencukupi semua kebutuhan hidup. Hasil membersihkan rumput dan menebas kebun sawit sengaja ia sisihkan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Sedangkan kebutuhan makan dan yang lainnya ia penuhi dari hasil sawah yang tak seberapa tersebut. Meskipun hasil panen jika dihitung terlihat banyak, tetapi sebenarnya keuntungan yang didapatkannya tak sebanding dengan modal yang digunakan untuk menanami kembali sawahnya dan perawatannya.

Meskipun ia hanya seorang buruh tani, tetapi dia begitu mengerti akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Ia paham bahwa perkembangan dunia tidak dapat dipungkiri akan bertambah maju. Jika anak-anaknya tidak mengenyam pendidikan, maka akan jauh tertinggal dibelakang. Ini semua dilakukannya lantaran memang sudah kewajibannya sebagai orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Kalau orang di desanya memilih untuk mencukupkan pendidikan anaknya sampai bangku sekolah menengah keatas, tidak dengan ikah, sapaan akrabnya. ikah begitu miris melihat realitas apa yang terjadi didesanya. Padahal menurutnya kalau dilihat dari sisi ekonomi, mereka lebih mampu bahkan berlebih jika mau menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi.

Sedikit bercerita tentang keadaan kampungnya, Ikah mengatakan bahwa dari ratusan anak muda di desa, bisa diitung dengan jari yang mau meneruskan pendidikannya dan mengerti arti penting pendidikan. Sebagian dari orang tua masih belum mengerti akan pentingnya menuntut ilmu, begitu juga dengan anak-anaknya. Yang terlintas dipikiran masyarakat hanya bagaimana mendapatkan kerja bermodalkan ijazah SMA.

Bahkan masyarakat sudah pesimis terlebih dahulu tidak akan mampu menyelesaikan administrasi pembayaran selama sekolah. “Padahal, kalau mereka niat dan mau pasti akan dipermudah jalannya oleh Allah, rezeki itu sudah ada yang mengatur, apalagi buat pendidikan ada saja rezeki yang datang ketika tiba waktu pembayaran” ujarnya dengan yakin.

Ikah begitu bersyukur anak-anaknya mengerti akan pentingnya pendidikan. Ia hanya perlu mendukung dan mendoakan. Sosok yang begitu ramah ini tak ingin apa yang ia alami dialami pula oleh anaknya. Ia berusaha sekuat tenaga bahkan rela mengorbankan apapun demi anaknya. Satu hal yang dipikirkannya hanyalah bagaimana mencari rezeki yang barokah untuk membiayai anak-anaknya sekolah. Tak peduli bagaimana keadaan tembok rumah yang mulai mengelupas, tak peduli atap rumah yang mulai bocor dan tak peduli betapa tuanya motor yang menemani aktivitasnya sehari-hari. Baginya kalau semua masih bisa digunakan, ia tidak akan mengganti dengan yang baru.

Mengakhiri ceritanya, sebagai orang tua ia berharap dimanapun putra–putrinya berada, kelak anak-anaknya mampu mengamalkan ilmu yang diperolehnya saat ini untuk turut memajukan bangsa dan negara. Ia berharap kelak anaknya akan bermanfaat bagi masyarakat. Sebab ia percaya bahwa sebaik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya.

***

5# KESANGGUPAN MENGHASILKAN IMPIAN

oleh; Febri Reviani / Batu Ampar – Kuburaya – Kalimantan Barat

1688636_807491982598954_1769458691_nBerparas ayu dengan kulit putih, senyuman yang selalu menebarkan kesejukan dan tawa yang khas itulah NURAINAH wanita kelahiran Padang Tikar 12 Juni 1988 ini buah hati dari pasangan Bapak Japar dan Ibu Sakma.  Dia adalah salah satu guru honorer  salah sau SD dan SMP di Kecamatan Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat.

Bagi kebanyakan orang memang menganggap bahwa menjadi guru honorer pasti berpikir gajinya kecil. Namun wanita yang satu ini tidak berpikir seperti itu dia beranggapan bahwa “ menjadi guru apapun itu tetap sama saja, masalah gaji kecil atau besar untuk rezeki itu sudah ada yang menentukanya, tetapi semuanya kembali ke kita masing-masing” jawaban yang sangat bijaksana. Dia tidak hanya mengatakanya namun membuktikanya juga, walau tubuhnya kecil tidak membuat dia malas untuk mengerjakan hal-hal yang berat itu dibuktikanya dengan ketekunanya hadir lebih awal dari guru-guru yang lain itu dilakukan setiap hari, tidak pernah bolos kecuali benar-benar ada hal yang mendesak, merubah sekolahnya menjadi sekolah ramah lingkungan, mengantikan guru yang tidak hadir walau tak dibayar dia tetap melakukanya dengan ikhlas dan sambil mengatakan “ tak kuase kak ay ngelihat kelas kosong “ pasti itu yang akan diungkapkanya.  Dengan gaya yang tegas dan lugas menjadikan dia bak pemimpin jelas saja semua anak pasti ketika dia suruh akan melakukan kegiatan itu.

Ternyata keuletanya sudah dari dulu sejak dia SLTP saat itu Ibunya sedang sakit parah dan diapun merawat sambil belajar walau jarak yang jauh dan ditempuh dengan jalan kaki dia tetap sabar dan kokoh untuk tetap sekolah kegesitan serta kebiasaanya terbukti lagi ketika dia kuliah. Untuk mengurangi beban orang tuanya dia kuliah sambil menjual kue, uang hasilnya sebagian di gunakan untuk membayar keperluan kuliah dan sebagian lagi untuk dia tabung dan ketika dia pulang ke kampong halaman sedikit demi sedikit dia membeli perabot rumah tangga. Memang ketika ada kemauan pasti kita dapat mewujudkan impian kita. Pengalaman mengajarkan dia banyak hal, selain  memanajemen diri dia juga bisa memanajemen keuanganya.

Ketika kita memulai dengan niat yang benar tentunya kita akan benar-benar tulus melakukan pekerjaan itu dan kalau kita tak meyakinkan diri kita untuk berbuat maka kita takkan mampu. Benar kata orang kalau kita tidak kenal apa yang akan kita lakukan maka kita tak mampu menyayangi pekerjaan kita. Begitu juga ketika menjadi guru honorer jangan pernah takut dengan gaji kecil atau tak hargai namun lakukanlah dengan ikhlas bahwa kamu adalah guru, guru untuk anak-anak didikmu dan guru untuk dirimu sendiri.

***

6# WIWIT (BUKAN) SISWA AUTIS

oleh; Fachruddien Imam / Rasau Jaya – Kuburaya – Kalimantan Barat

Picture1Sutriani Laulia, teman sekelasnya memanggilnya Wiwit. Gadis kecil berusia 8 tahun ini duduk di kelas 1 di sekolah yang aku tempati saat ini, SDN 06 Rasau Jaya. Ini adalah tahun kedua dia duduk di kelas 1, karena tahun sebelumnya dia pun duduk dikelas yang sama. Ya, dia tidak naik kelas tahun lalu.

Pertama kali melihat sosoknya, anak ini sering mengumbar senyum meski terlihat hambar. Senyum yang tak banyak orang dapat memaknainya, termasuk aku. Senyum yang banyak orang bilang “sinting” dan anggapan buruk lainnya.

Setiap pagi ketika aku selesai bersiap untuk masuk ke sekolah, sekitar pukul 06.15 ia sering terlihat sudah berada di beranda kelasnya, atau bermain pasir di halaman sekolah. Dengan seragam yang lusuh dan rambut tak bersisir, serta tanpa tas atau buku layaknya anak-anak lain berangkat ke sekolah.

Bahkan kulihat lebih sering kakinya menjepit sandal daripada sepatu sekolah. Ia juga sering menjadi siswa pertama yang masuk ke sekolah, entah karena jarak rumahnya yang dekat atau ada alasan lain.

Minggu pertama mengajar disini hanya itu yang aku tahu tentang gadis kecil ini, tak lebih. Karena aku belum punya kesempatan untuk memasuki kelas 1 dan bermain bersama mereka. Namun setelah beberapa minggu disini, dan beberapa kali memasuki kelas tersebut aku baru tahu bahwa ternyata ada hal lain yang melekat pada sosok gadis tersebut.

Pernah suatu ketika aku mengajar di kelas ini, kulihat anak tersebut duduk di bangku pojok belakang. Tiada alat tulis apapun di mejanya, ia duduk dengan tenang tanpa suara apa pun. Sesekali ku tanyakan kenapa tidak membawa alat tulis, ia hanya tersenyum kosong tanpa sepatah kata.

Setelah kejadian tersebut aku banyak mencari informasi tentang Wiwit, terutama dari guru kelasnya. Belakangan aku tahu bahwa guru tersebut sudah kuwalahan menghadapi anak tersebut. Ia memang tidak mengganggu temannya seperti layaknya siswa kelas 1 lain yang berlarian kesana kemari ketika belajar, namun ia pun jarang melakukan instruksi yang diberikan gurunya.

Usaha maksimal telah dilakukan guru dengan mengajari satu demi satu. Tak jarang temannya pun meminjamkan alat tulis kepadanya ketika belajar di kelas. Dan selama ini hasilnya masih nol. Selain disleksia dan diskalkulia, anak ini juga masih mengalami kesusahan ketika bicara hingga kata-kata yang diucapkan masih sulit difahami orang awam.

Dari beberapa pendapat guru, banyak yang mengatakan anak ini seharusnya sekolah di SLB, melihat kondisi yang masih stagnan di tahun keduanya ini. Bahkan sempat orang tuanya datang ke kantor guru dan dengan nada marah menanyakan kondisi anaknya yang tak bisa apa-apa meski sudah tinggal kelas, dan gurunya pun dengan semaksimal mungkin melakukan yang terbaik, namun apa daya memang belum terjadi peningkatan apa pun.

Aku berfikir keras, sebenarnya apa yang terjadi dengan anak ini?.

Berbagai langkah aku lakukan untuk mencari informasi se detil mungkin mengenai anak ini, dari guru, temannya atau saudara dan tetangganya yang cukup dekat dengannya.

Pernah sesekali aku meminta siswa kelas satu untuk menggambar bebas, dengan kertas putih yang aku berikan. Hasilnya adalah semua siswa menggambar dengan jelas, meski gambar mereka masih tak beraturan namun sudah terbaca dengan jelas apa yang mereka gambarkan. Mulai dari kapal, rumah, pohon dan lain sebagainya.

Namun hasil yang berbeda aku dapatkan pada hasil gambar Wiwit. Aku berfikir cukup keras untuk bisa mengetahui apa yang digambarkannya, karena aku hanya melihat coretan-coretan abstrak yang tak mampu ku tebak.

Apa yang ada dalam pikirannya? Sering ku renungkan bagaimana cara mengatasi hal ini, setidaknya aku tahu apa yang difikirkannya. Pernah juga aku meminta seisi kelas untuk memikirkan sesuatu menuangkannya dalam tulisan atau gambar. Nyatanya masih dengan hasil yang sama, aku belum tahu apa arti goresan-goresan abstrak karya anak ini.

Ini kali pertama aku menghadapi kejadian seperti ini, dengan tipe anak yang seperti ini. Aku terus menebak untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan anak ini. Sebenarnya jika difahami lebih lanjut, anak seperti ini memiliki potensi tersendiri yang memang susah untuk diketahui dan digali. Mungkin itu tugas yang harus aku kerjakan.

Aku memulai langkah dengan informasi yang aku dapat, bahwa orang tua anak tersebut memang jarang dirumah. Lebih sering sibuk diluar rumah mencari nafkah hidup mereka. Permasalahan tersebut menjadi penting karena anak ini memang perlu perhatian lebih, khususnya dari orang tua.

Sebagai orang tua mustinya ada kekhawatiran ketika anaknya belum bisa berbicara dengan jelas di usia sekian. Melihat teman sekelasnya yang sudah mulai belajar membaca, bukan lagi bicara. Namun yang terjadi seakan berbeda dengan yang semustinya terjadi. Orang tua hanya menyerahkan anaknya sepenuhnya ke sekolah. Padahal cukup jelas bahwa kegiatan belajar di sekolah hanya berjalan beberapa jam saja. Selebihnya, orang tuanya lah yang harus membimbing dengan kegiatan edukatif lainnya. Sehingga apa yang belum didapat di sekolah bisa didapat di rumah, begitu pula sebaliknya.

Itulah sejatinya fungsi keluarga, serta sekolah yang saling bersinergi untuk membawa anak menuju impian mereka.

Langkah-langkah tersebut yang akan aku lakukan untuk membantu gadis kecil ini menemukan potensinya, karena miris sebenarnya melihat kejadian seperti ini. Di rumah kurang mendapat perhatian, sementara di sekolah Ia pun susah mengeluarkan potensinya diantara teman-teman yang selalu mengejeknya, mendiamkannya, menganggap idiot, o’on, bahkan merasa jijik kepadanya.

Anak mana yang tahan menghadapi perlakuan seperti itu? Jangankan untuk beradaptasi atau menunjukkan potensinya, sekedar bisa bertahan adalah kemampuan yang luar biasa.

Kesempatan beberapa bulan selanjutnya akan aku pergunakan untuk menemukan potensinya, atau setidaknya membuatnya bisa beradaptasi dengan tekanan seperti itu. Apa yang dikatakan orang-orang terhadap dirinya, jangan sampai terus melekat seiring usia dan pertumbuhannya. Banyak hal yang bisa dilakukannya di masa depan tanpa cacian, ejekan dan segudang label lain yang sekarang menempel kepadanya.

Ya, Wiwit bukan siswa Autis, ia hanya belum menemukan potensinya.

– – – – – – – – –

6 Comments Add yours

    1. fachrubelajar berkata:

      tengkyu aaaayyy……… (Y)

      1. Syarifah Alfatih berkata:

        🙂 lanjutkan bang

  1. keren mas.. sering share ke email ane ya

    1. fachrubelajar berkata:

      tengkyu bang ………

Tinggalkan komentar