Karakter, Upaya Mencerdaskan Bangsa

Picturjhje1Karakter menjadi perbincangan hangat dalam bidang pendidikan akhir-akhir ini. Seiring dengan maraknya kenakalan siswa, tawuran antar sekolah dan perbuatan tidak terpuji lainnya. Semua tindakan berbau kriminal muncul dari lingkungan sekolah. Terbesit dalam benak kita bersama, ada apa dengan negeri ini?

Tujuan pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan bangsa masih terus diupayakan, namun mengapa prestasi-prestasi yang didapat tak sebanding dengan tabiat buruk yang terus dilakukan?

Jika kita mau berfikir dan sejenak evaluasi diri, memang ada yang kurang tepat dalam sistem pendidikan kita. Mulai dari penggerak sistem pendidikan, sampai pelaku pendidikan skala kecil di sekolah. Penggerak pendidikan terasa setengah hati dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Dalam proses seleksi pendidik misalnya masih tergolong kurang ketat dan terlihat asal pungut. Sehingga yang terjadi banyak orang yang mengutamakan sisi materi ketika menjadi guru.

Apalagi dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 18 Tahun 2007 tentang sertifikasi guru dalam jabatan, menjadi alasan banyak orang berbondong-bondong ingin menjadi guru. Tak ayal tunjangan sebesar gaji pokok ini menyedot perhatian, termasuk mereka yang telah menjadi guru. Sertifikasi menjadi sasaran empuk para oknum yang memang tidak serius menjadi guru. Entah karena belum memahami esensi seorang guru, atau memang telah tersumbat dengan janji kesejahteraan lewat selembar sertifikat.

Parahnya banyak pula oknum yang memilih “jalur belakang” dalam proses sertifikasi ini, sehingga sistem penggerak pendidikan menjadi sangat kotor akan hal tersebut.

Bisa kita bayangkan ketika pelaku tindakan tidak terpuji tersebut adalah seorang guru, lalu bagaimana dengan perannya di sekolah? Jelas, siswa sebagai objek pendidikan yang harusnya ikut berdaya semakin terpuruk. Para insan sertifikasi sibuk kesana kemari mengurus sertifikat yang tak jelas, sementara kwajiban mendidik siswa di sekolah jadi terbengkalai. Sudah bisa ditebak bahwa mereka pun tak sempat mempersiapkan pembelajaran dengan baik. Padahal gagal merencanakan pembelajaran bisa jadi merencanakan kegagalan bagi masa depan siswa.

Bagaimana pula dengan apa yang diajarkannya kepada siswa? Bukankah itu perusakan moral secara sistemik? Jelas, dampak yang luar biasa akan terjadi ketika guru tak lagi bisa mempertahankan karakternya, siswa tak lagi percaya dengan apa yang disampaikan oleh guru dan mereka kehilangan panutan di sekolah.

Ingat yang pernah dikatakan Soekarno, “Anda tidak bisa mengajarkan apa yang Anda mau, Anda tidak bisa mengajarkan apa yang Anda tahu. Anda hanya bisa mengajarkan siapa Anda”. Artinya sikap kita lah yang akan ditiru oleh siswa, bukan sekedar kata yang tak sesuai dengan prilaku.

Disinilah karakter seorang guru dipertaruhkan. Apakah ia mampu menjaga karakternya, atau tergadai dengan lembaran kartu ajaib penunjang kehidupan dunianya.

Eri Sudewo (2010) menyebutkan kunci suskses dalam kehidupan seseorang adalah 3K; Kapasitas, Kapabilitas dan Karakter. Kapasitas tiap orang memang berbeda, namun dengan kapabilitas seseorang dapat memanfaatkan kapasitasnya dengan baik. Ketika kapasitas dan kapabilitas akan berjalan dengan baik jika dibarengi dengan kejujuran, tanggungjawab, disiplin dan sejumlah karakter lainnya.

Bagaimana dengan profesi guru? sudah barang tentu harus punya itu semua. Karena guru tidak hanya mensukseskan kehidupan pribadinya, tapi juga siswa, dan orang di sekelilingnya. Karakter bukan hanya sekedar tulisan yang tertera di rencana pembelajaran atau poster-poster di dinding sekolah, melainkan diajarkan lewat sikap yang baik sebagai panutan yang bisa ditiru oleh siswa.

Mengapa musti melalui sikap? Ibarat tim SAR, mereka harus pandai berenang sebelum evakuasi musibah banjir, atau mereka harus tahu cara keluar dari api sebelum menolong korban yang terjebak dalam kebakaran.

Tak ubahnya tim SAR, guru juga berperan sebagai juru selamat masa depan siswa. Mau dibawa kemana siswa tersebut? Jika guru menginginkan siswa cerdas, guru pun harus bisa memberikan pembelajaran terbaiknya. Dan jika guru juga menginginkan siswanya santun, berbakti dan disiplin, ia pula yang harus mengajarkan dengan tindakan agar siswa bisa menirukan. Mengapa harus dengan sikap? Karena disiplin, jujur dan karakter lainnya adalah merupakan sikap, bukan sekedar pengetahuan.

Pendidikan di Indonesia sebenarnya sudah melakukan upaya penanaman karakter tersebut, mulai dari kurikulum yang di disain menggunakan karakter. Namun upaya tersebut tidaklah berlangsung lama jika tidak ada komitmen guru sebagai pemeran pendidikan tersebut. Kurikulum sebaik apa pun tidak akan berjalan tanpa kontribusi maksimal dari guru, begitu pula sebaliknya. Ibarat pepatah, pistol tak bisa menembak sasaran, orang dibelakang pistol lah yang bisa menembak sasaran dengan tepat.

Anhar Gonggong, praktisi pendidikan menyebutkan bahwa “ketika guru berada di depan kelas, sesungguhnya dia sedang berdialog dengan masa depan”. Nah, jika kita menginginkan masa depan yang cerah untuk mereka, jadilah pembicara yang baik, sikap yang patut untuk dicontoh untuk menjadi manusia yang baik di masa depan.

Menjadi teladan memang bukan hal yang mudah, tapi bukan pula hal yang tak mungkin dilakukan. Berbekal dengan kapasitas dan kapabilitas, guru selalu belajar menjadi sosok yang kompeten dalam bidangnya. Dan berbekal karakter yang dimiliki, guru siap menjadi teladan untuk membina siswa menuju masa depan mereka yang lebih cerah.

# terbit  9/2/’14 – Pontianak Post

Tinggalkan komentar